Tuesday 14 April 2015

Potret Perempuan-Perempuan Bali dalam Novel Tarian Bumi

Posted by Unknown at 02:05


Ulasan Novel Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini



Ni Luh Sekar, seorang perempuan yang terlahir dari kasta Sudra merupakan tokoh utama dalam novel ini. Sebagai perempuan yang berasal dari kalangan sudra, tak banyak hak hidup yang ia peroleh, bahkan untuk sekedar diakui masyarakat. Agak ngilu bercampur getir ketika akan menulis ulasan kisah dalam novel Tarian Bumi ini. Hehe

Di dalam novel ini diceritakan sebuah kehidupan dan perjuangan perempuan Bali, dimulai dari ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat, berjuang untuk bertahan terhadap budaya dan agama, sampai dengan berjuang untuk menghidupi diri sendiri, anak, pun suami mereka. Di sini Luh Sekar berjuang untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagai seorang perempuan dari kasta sudra, ia harus benar-benar nrimo, hanya untuk bermimpi dan memiliki ambisi saja rasanya tidak diperkenankan. Tapi Luh Sekar berbeda, ia bukan perempuan Sudra pada umumnya, ia berani bermimpi, berambisi, dan berjuang dengan gigih. Ia tak ingin selamanya hidup miskin. Ia besar tanpa figur seorang ayah. Belum genap umur 15 tahun, ia sudah harus menjadi tulang punggung keluarganya, ibunya mengalami kebutaan dan menjadi korban pemerkosaan. Sayangnya lagi, dari pemerkosaan itu lahirlah dua orang anak kembar. Luh Kerta dan Luh Kerti, namanya. Bebannya semakin bertambah, ia harus menghidupi tiga orang dalam keluarganya. Sialnya, kedua adiknya sangat tidak nurut dengan Ibu pun dengan Luh Sekar. Seperti tak kunjung habis cobaan yang dialaminya. Dari kenyataan hidup inilah ia ingin mengakhiri hidup sebagai orang miskin.

Luh Sekar sangat berani bermimpi untuk mendapatkan lelaki dari kasta Brahmana dan ia juga bermimpi untuk bisa menjadi penari yang dikagumi semua orang, cantik, dan bertubuh indah. Apakah itu mungkin bagi gadis dari kasta sudra? Untuk mewujudkannya, Luh Sekar selalu rajin berdoa ke Pura, meminta kepada Hyang Widhi untuk mengabulkan doa-doanya. Ibu Luh Sekar dulunya adalah seorang penari, ia menyematkan taksu penarinya kepada Luh Sekar, dengan syarat dia harus memberi sesajen saat bulan terang dan bulan mati. Doa Luh Sekar seakan terdengar, ia menjadi penari dan digandrungi banyak lelaki. Tapi, Luh Sekar hanya mau dengan lelaki kasta Brahmana. Keinginanya mendapatkan lelaki Brahmana bersambut, Gusti Pidada melirik Luh Sekar. 

Sepertinya Hayang Jagat mengabulkan doa-doa Luh Sekar, mimpi Luh Sekar terwujud, ia menikah dengan lelaki berkasta Brahmana. Untuk menikah dengan lelaki Brahmana, Luh Sekar harus menjadi orang lain, menjadi jiwa baru. Ia harus meninggalkan nama “Luh” dan berganti menjadi “Jero”. Luh adalah nama untuk perempuan berkasta Sudra, Jero adalah nama yang diberikan untuk perempuan sudra yang menjadi istri lelaki Brahmana. Nama lengkapnya Jero Kenanga. Luh Sekar sudah tiada. Ia bahagia impiannya terwujud, walaupun harus serumah dengan mertua perempuan yang memiliki perkataan pedas. Ia menjadi berkasta Brahmana meskipun tetap menjadi orang asor di griya (tempat tinggal kasta Brahmana).

Jero Kenanga melahirkan seorang anak cantik, bernama Ida Ayu Telaga. Namun, hidupnya tak berjalan mulus seperti yang ia dambakan. Suaminya masih suka bermain dengan wanita lain, pemabuk dan tak peduli dengan keluarganya. Pahitnya lagi, suaminya bermain dengan adik sepersusuannya Luh Kerti dan Luh Kerta. Kenanga harus tahan dicaci oleh ibu mertuanya, karena tak becus menjaga anak laki-lakinya. Kenanga menjadi orang pendiam, tak banyak bicara, karena terus dicerca Ibu mertuanya. Kenanga adalah seorang Ibu yang harus menjadikan anaknya bahagia. Tapi, Kenanga membentuk Telaga menjadi perempuan seperti yang ia mau, membentuknya untuk menjadi perempuan Bramana yang sebenarnya. Telaga harus menjadi seorang penari seperti yang ia inginkan dan menikah dengan lelaki Brahmana.

Harapan Kenanga kepada anaknya tak tercapai, Telaga memilih untuk menikah dengan lelaki sudra, Wayan namanya. Seorang laki-laki yang pandai melukis dan menaruh rasa kepada Telaga sejak umur 10 tahun. Telaga tidak ingin menjadi perempuan seperti nenek atau ibunya. Yang menikah bukan karena cinta sejati, hanya karena ambisi. Jika Telaga menikah dengan Wayan, ia harus rela melepas ke-Brahmana-annya. Menikah dengan Wayan, ia merasakan menjadi seorang wanita sejati, sebenar-benarnya wanita. Tapi, hanya dalam hitungan tahun ia merasakan kebahagian dengan Wayan, Wayan meninggal karena serangan jantung di studio lukisnya. Telaga dengan seorang anaknya tetap tinggal bersama Ibu mertuanya di rumah kecil dan sempit. Telaga dianggap yang menyebabkan kematian suaminya, ia dianggap pembawa sial, karena ia tidak pamit secara hormat dari griya. Akhirnya, karena perintah dari Ibu mertuanya ia mengikuti upacara untuk menjadi kasta sudra, supaya tak membawa kesialan lagi.

Dari sinopsis di atas, bisa kita lihat bagaimana potret perempuan-perempuan Bali. Mereka harus bertahan dengan kenyataan hidup yang menuntut untuk menjadi perempuan mandiri. Apalagi sebagai perempuan yang terlahir dari kasta sudra. Perempuan Bali harus ikhlas bekerja, menari, membuat sesaji, mengurus anak dan suami. Dari novel tersebut, lelaki Bali lebih banyak yang mengandalkan kelaki-lakiannya, bahwasanya mereka tak bekerja, suka sabung ayam, dan bermain perempuan. Apalagi jika menikah dengan lelaki dari kasta Brahmana kasta tertinggi yang dekat dengan Hyang Widhi. 

Ketika membaca novel karangan Oka Rusmini ini, seakan pembaca dibawa ke cerita tersebut. Rasanya getir dan perih, seakan penderitaan mereka sebagai perempuan tak ada ujungnya. Mereka harus kuat menghadapi kenyataan sebagai perempuan dengan adat tersebut. Mereka harus tangguh dan tak boleh mengeluh. Dari kecil, mereka dibentuk menjadi sebagaimana perempuan Bali yang sebenar-benarnya. Mereka tak boleh banyak memilih dan harus mengikuti pakem yang ada. Seperti Kenanga yang membentuk Telaga menjadi perempuan Brahmana agar kelak bahagia. Kenanga yang bukan berasal dari kasta Brahmana bertindak seolah lebih dari kasta Brahmana, karena ia terlalu mengagungkan hidup sebagai kasta tertinggi. Sampai pada suatu percakapan antara Ratu Pidada dengan Jero Kenanga bahwa tiap orang memiliki warna kebahagiaan sendiri-sendiri.
“Kebahagiaan itu tidak memiliki pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Setiap orang memiliki warnanya yang berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup. Hidupmu mungkin penuh warna, tapi tetap akan berbeda dengan warna anakmu”.
Novel ini sangat kaya akan kebudayaan, sastra, dan nilai leluhur. Dengan bahasanya yang lugas membuat pembaca seakan mengetahui secara langsung kehidupan perempuan-perempuan Bali.

0 comments:

Post a Comment

 

A Great person is the Best Dreamer Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos