Ulasan Novel Tarian Bumi
Penulis: Oka Rusmini
Ni Luh Sekar, seorang perempuan
yang terlahir dari kasta Sudra merupakan tokoh utama dalam novel ini. Sebagai
perempuan yang berasal dari kalangan sudra, tak banyak hak hidup yang ia
peroleh, bahkan untuk sekedar diakui masyarakat. Agak ngilu bercampur getir ketika
akan menulis ulasan kisah dalam novel Tarian Bumi ini. Hehe
Di dalam novel ini diceritakan
sebuah kehidupan dan perjuangan perempuan Bali, dimulai dari ingin mendapatkan
pengakuan dari masyarakat, berjuang untuk bertahan terhadap budaya dan agama,
sampai dengan berjuang untuk menghidupi diri sendiri, anak, pun suami mereka.
Di sini Luh Sekar berjuang untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Sebagai
seorang perempuan dari kasta sudra, ia harus benar-benar nrimo, hanya untuk bermimpi dan memiliki ambisi saja rasanya tidak
diperkenankan. Tapi Luh Sekar berbeda, ia bukan perempuan Sudra pada umumnya, ia
berani bermimpi, berambisi, dan berjuang dengan gigih. Ia tak ingin selamanya
hidup miskin. Ia besar tanpa figur seorang ayah. Belum genap umur 15 tahun, ia
sudah harus menjadi tulang punggung keluarganya, ibunya mengalami kebutaan dan
menjadi korban pemerkosaan. Sayangnya lagi, dari pemerkosaan itu lahirlah dua
orang anak kembar. Luh Kerta dan Luh Kerti, namanya. Bebannya semakin
bertambah, ia harus menghidupi tiga orang dalam keluarganya. Sialnya, kedua
adiknya sangat tidak nurut dengan Ibu pun dengan Luh Sekar. Seperti tak kunjung
habis cobaan yang dialaminya. Dari kenyataan hidup inilah ia ingin mengakhiri
hidup sebagai orang miskin.
Luh Sekar sangat berani bermimpi
untuk mendapatkan lelaki dari kasta Brahmana dan ia juga bermimpi untuk bisa
menjadi penari yang dikagumi semua orang, cantik, dan bertubuh indah. Apakah
itu mungkin bagi gadis dari kasta sudra? Untuk mewujudkannya, Luh Sekar selalu
rajin berdoa ke Pura, meminta kepada Hyang Widhi untuk mengabulkan doa-doanya.
Ibu Luh Sekar dulunya adalah seorang penari, ia menyematkan taksu penarinya
kepada Luh Sekar, dengan syarat dia harus memberi sesajen saat bulan terang dan
bulan mati. Doa Luh Sekar seakan terdengar, ia menjadi penari dan digandrungi
banyak lelaki. Tapi, Luh Sekar hanya mau dengan lelaki kasta Brahmana.
Keinginanya mendapatkan lelaki Brahmana bersambut, Gusti Pidada melirik Luh
Sekar.
Sepertinya Hayang Jagat
mengabulkan doa-doa Luh Sekar, mimpi Luh Sekar terwujud, ia menikah dengan lelaki
berkasta Brahmana. Untuk menikah dengan lelaki Brahmana, Luh Sekar harus
menjadi orang lain, menjadi jiwa baru. Ia harus meninggalkan nama “Luh” dan
berganti menjadi “Jero”. Luh adalah nama untuk perempuan berkasta Sudra, Jero
adalah nama yang diberikan untuk perempuan sudra yang menjadi istri lelaki
Brahmana. Nama lengkapnya Jero Kenanga. Luh Sekar sudah tiada. Ia bahagia
impiannya terwujud, walaupun harus serumah dengan mertua perempuan yang
memiliki perkataan pedas. Ia menjadi berkasta Brahmana meskipun tetap menjadi
orang asor di griya (tempat tinggal kasta Brahmana).
Jero Kenanga melahirkan seorang
anak cantik, bernama Ida Ayu Telaga. Namun, hidupnya tak berjalan mulus seperti
yang ia dambakan. Suaminya masih suka bermain dengan wanita lain, pemabuk dan
tak peduli dengan keluarganya. Pahitnya lagi, suaminya bermain dengan adik
sepersusuannya Luh Kerti dan Luh Kerta. Kenanga harus tahan dicaci oleh ibu
mertuanya, karena tak becus menjaga anak laki-lakinya. Kenanga menjadi orang
pendiam, tak banyak bicara, karena terus dicerca Ibu mertuanya. Kenanga adalah
seorang Ibu yang harus menjadikan anaknya bahagia. Tapi, Kenanga membentuk
Telaga menjadi perempuan seperti yang ia mau, membentuknya untuk menjadi
perempuan Bramana yang sebenarnya. Telaga harus menjadi seorang penari seperti
yang ia inginkan dan menikah dengan lelaki Brahmana.
Harapan Kenanga kepada anaknya
tak tercapai, Telaga memilih untuk menikah dengan lelaki sudra, Wayan namanya.
Seorang laki-laki yang pandai melukis dan menaruh rasa kepada Telaga sejak umur
10 tahun. Telaga tidak ingin menjadi perempuan seperti nenek atau ibunya. Yang
menikah bukan karena cinta sejati, hanya karena ambisi. Jika Telaga menikah
dengan Wayan, ia harus rela melepas ke-Brahmana-annya. Menikah dengan Wayan, ia
merasakan menjadi seorang wanita sejati, sebenar-benarnya wanita. Tapi, hanya
dalam hitungan tahun ia merasakan kebahagian dengan Wayan, Wayan meninggal
karena serangan jantung di studio lukisnya. Telaga dengan seorang anaknya tetap
tinggal bersama Ibu mertuanya di rumah kecil dan sempit. Telaga dianggap yang
menyebabkan kematian suaminya, ia dianggap pembawa sial, karena ia tidak pamit
secara hormat dari griya. Akhirnya, karena perintah dari Ibu mertuanya ia mengikuti
upacara untuk menjadi kasta sudra, supaya tak membawa kesialan lagi.
Dari sinopsis di atas, bisa kita
lihat bagaimana potret perempuan-perempuan Bali. Mereka harus bertahan dengan
kenyataan hidup yang menuntut untuk menjadi perempuan mandiri. Apalagi sebagai
perempuan yang terlahir dari kasta sudra. Perempuan Bali harus ikhlas bekerja,
menari, membuat sesaji, mengurus anak dan suami. Dari novel tersebut, lelaki
Bali lebih banyak yang mengandalkan kelaki-lakiannya, bahwasanya mereka tak
bekerja, suka sabung ayam, dan bermain perempuan. Apalagi jika menikah dengan
lelaki dari kasta Brahmana kasta tertinggi yang dekat dengan Hyang Widhi.
Ketika membaca novel karangan Oka
Rusmini ini, seakan pembaca dibawa ke cerita tersebut. Rasanya getir dan perih,
seakan penderitaan mereka sebagai perempuan tak ada ujungnya. Mereka harus kuat
menghadapi kenyataan sebagai perempuan dengan adat tersebut. Mereka harus
tangguh dan tak boleh mengeluh. Dari kecil, mereka dibentuk menjadi sebagaimana
perempuan Bali yang sebenar-benarnya. Mereka tak boleh banyak memilih dan harus
mengikuti pakem yang ada. Seperti Kenanga yang membentuk Telaga menjadi
perempuan Brahmana agar kelak bahagia. Kenanga yang bukan berasal dari kasta
Brahmana bertindak seolah lebih dari kasta Brahmana, karena ia terlalu
mengagungkan hidup sebagai kasta tertinggi. Sampai pada suatu percakapan antara
Ratu Pidada dengan Jero Kenanga bahwa tiap orang memiliki warna kebahagiaan
sendiri-sendiri.
“Kebahagiaan itu tidak memiliki
pakem. Tidak ada kriteria idealnya. Setiap orang memiliki warnanya yang
berbeda, yang dia dapatkan dari pengalaman hidup. Hidupmu mungkin penuh warna,
tapi tetap akan berbeda dengan warna anakmu”.
Novel ini sangat kaya akan
kebudayaan, sastra, dan nilai leluhur. Dengan bahasanya yang lugas membuat
pembaca seakan mengetahui secara langsung kehidupan perempuan-perempuan Bali.