Tulisan ini ditulis oleh sahabat saya Gryna Kistia Dilaga (http://domehibeauty.blogspot.com/2013/02/selamanya.html)
Terima kasih atas setiap untaian kata, doa serta waktu yang kita habiskan bersama-sama.
Keramaian itu tiba bersamaan dengan datangnya sepi. Seperti yang dibawa oleh hujan dan rindu saat bersamaan jatuh dengan keras ke bumi dengan hingar namun cukup terasa sunyi. Sunyi karena kami bisa mendengar suara diri kami sendiri. Gaung sedu sedan tangisan memantul dari dinding bertemu dinding. Membuat pekik sampai diujung nyeri ketika berbentur dengan kenangan-kenangan indah yang kenapa jadi sebegini pahit. Tak ada yang dapat kami lakukan selain memeluk sendiri tubuh-tubuh kami erat-erat. Agar jangan sampai jiwa kami turut serta pergi lalu kami pun hidup seperti mati.
“Gue udah gak bisa mengerti elo lagi. Gue udah capek menghadapi elo.”
“Gue pun. Elo itu egois, terlalu cepat gampang marah. Sering membesar-besarkan hal kecil sampai jadi masalah besar. Susah ngomong sama orang kaya elo.”
“Elo yang sering menyulut amarah gue.”
“Elo yang kelewat serius. Sampai-sampai pusing cuma karena memikirkan kenapa bisa hidung dinamai hidung bukan dinamai mulut.”
“Udah-udah jangan berantem begini kenapa, sih.”
“Gak bisa lah. Dia duluan yang bilang kalau gue itu egois.”
“Elo duluan yang menyinggung gue.”
“Heh, gue gak pernah ya ngatain elo. Gue cuma bilang gue capek menghadapi elo.”
“Udah! Udah! Kalian berdua itu sama. Sama-sama cuma mikirin diri kalian sendiri. Kalian sibuk saling maki satu sama lain tanpa sadar kalau kalian itu sebenarnya sedang memaki diri kalian sendiri!”
Ada jeda sejenak. Saat itu hujan turun deras sehingga kami saling berbicara dengan nada-nada tinggi. Hujan kala itu mungkin tidak sedang berupa air, karena tidak sanggup meredakan api yang lambat-lambat membakar ujung-ujung kaki-kaki sampai ubun-ubun kepala kami. Puncaknya, sebuah kursi melayang bebas namun tidak terlalu tinggi, mengenai dinding sebelum terjatuh keras di lantai berubin putih. Deritnya sempat membuat ngeri.
Seorang dari kami pergi menerobos berondongan hujan lebat diiringi petir yang lebih terdengar ngeri dari suara derit lantai tadi. Seorang dari kami ikut pergi menyusul dengan membawa salah satu dari tiga payung kembar yang sengaja kami beli bersamaan sesaat sebelum musim penghujan tiba. Sekelebat kenangan hinggap dan seolah menjadi strip-strip film hitam putih yang membuat sesak. Payung-payung berbahan transparan tadi seolah menjadi layar dan mesin waktu sekaligus. Membawa salah satu dari kami yang masih tinggal tidak sanggup menahan segerombolan penyesalan yang bersenandung dengan suara pilu.
“Jangan tinggalin gue.”
Dua langkah dari empat kaki yang berjarak agak berjauhan seketika berhenti.
“Jangan pergi. Jangan tinggalin gue. Bagaimana dengan mimpi-mimpi kita yang belum terwujud? Bagaimana dengan rencana perjalanan ke Eropa kita? Spanyol, Itali, Jerman...Perancis”
Langit semakin gelap dan hujan semakin deras karena kami ikut menangis di bawahnya. Kali ini tidak sendiri melainkan saling berpelukan. Menempelkan tubuh-tubuh kami untuk berbagi kehangatan. Semua terjadi begitu cepat sampai tidak ada satupun yang sanggup kami ingat selain betapa besarnya rasa sayang antara kami. Sampai-sampai kami menjadi sombong dengan mengatakan mustahil kami bisa dipisahkan selain oleh maut dari Tuhan.
HAPPY BIRTHDAY OUR BEST PEBRI @brianiws. SEMOGA SEHAT SELALU, SUKSES, DAN BISA PERGI KE EROPA BERSAMA-SAMA SEPERTI YANG KITA IMPIKAN.
WITH LOVE
YOUR BEST PENA DAN PIA
0 comments:
Post a Comment